Sesuatu diantara Matahari Terbenam di Langit Nglanggeran, Senyuman Itu, dan Aku. (Nglanggeranku, Kisahku.)

Sesuatu diantara Matahari Terbenam di Langit Nglanggeran, Senyuman Itu, dan Aku. (Nglanggeranku, Kisahku.)

23 hari, 552 jam, 33.120 menit, 1.987.200 detik tak terasa telah kuhabiskan waktuku di Desa Nglanggeran ini. Desa penuh keindahan, keramah-tamahan penduduk setempat, tempat-tempat menakjubkan untuk dikunjungi, dan penuh kenangan. Mengunjungi tempat-tempat yang menjadi ciri khas nglanggeran, bercengkrama dan bersenda gurau dengan seorang kakek dengan motor tuanya saat trekking dari kedung kandang menuju jalan pulang, berjalan kaki berkeliling desa untuk membeli kudapan, menonton kesenian Jatilan, melihat matahari terbenam di embung nglanggeran dan gunung api purba, mengerjakan program dengan rekan-rekan kelompok, melakukan kegiatan bersama masyarakat, dan bercengkrama dengan rekan-rekan pokdarwis untuk  berdiskusi tentang desa ini kurang lebih seperti itulah kegiatanku selama hampir satu bulan tinggal di desa ini. Dari sekian banyak kegiatan yang kulakukan selama di desa ini, duduk diamku ditempat itu memberikan kesan yang paling mendalam untuk diriku.

Pada sore itu, tanpa direncanakan, aku dan kawan-kawanku turut mengantar tamu dari pihak stasiun tv swasta untuk mendaki gunung api purba, hanya sampai pos pertama, ingin meliput sunset katanya. Kamipun memulai perjalanan kami sekitar pukul empat sore, senda gurau dan tawa kecil menjadi pengantar  perjalanan kami, lelah? Tentu saja namun menurut orang-orang, semuanya akan terbayarkan jika telah melihat matahari terbenam dari atas. Setelah sampai di pos satu, aku dan rekan-rekan beristirahat sejenak sembari memakan kudapan yang kami bawa, ada yang saling mengejek satu sama lain tentang kebodohan yang telah dilakukan, ada yang berfoto untuk kebutuhan mengisi feeds akun instagram miliknya, aku memilih melanjutkan perjalanan menuju tebing batu yang merupakan titik untuk melihat matahari terbenam, terlihat para pelancong yang datang telah sabar menanti indahnya matahari terbenam dari Gunung Api Purba ini. 

Akupun duduk disamping temanku yang sedang sibuk mengatur kamera untuk mengabadikan momen matahari terbenam ini untuk dijadikan bahan video laporan kelompok kami. Dengan sedikit obrolan ringan dengan temanku, aku mulai menunggu dengan sabar momen matahari terbenam. Tiada yang spesial pada saat itu, aku hanya ikut-ikutan saja, aku bukan tipe orang yang terlalu mencintai fenomena alam yang rela mengejar-ngejar momen untuk mendapatkan kepuasan tersendiri setelah melewati momennya.

Sampai saat itu tiba, jingga menyeruak mewarnai cakrawala di langit sore Nglanggeran. Bias-bias cahayanya menerpa wajahku, menembus retina mataku. Matahari telah jatuh, menarik tirai hangat bernamakan senja. Aku terpaku, terdiam melihat pemandangan yang terpampang dihadapanku. Seiring matahari yang semakin terbenam, aku melihat senyuman itu disela-sela pikiran kosongku. Senyuman jahilmu setelah puas menjahiliku, senyumanmu melihat kecerobohanku, senyumanmu saat mendapatiku memperhatikanmu malam-malam, senyumanmu saat bersenda gurau dengan kawanmu, senyuman hangatmu yang membalas senyumanku dipagi hari, senyumanmu, senyuman itu. Tanpa kusadari, dengan mata menatap lurus pemandangan matahari terbenam pikiranku melayang jauh pada dirimu yang tidak ada disana pada saat itu. Langit senja ini mengingatkanku pada  sosokmu. Sosokmu yang menenangkanku saat aku takut pada kala itu, menggenggamku saat aku sakit, menemaniku dikala sepi, mendengarkan cerita masa kecilku, menjahiliku, mengisi hati dan pikiranku. Takkan kulupakan pelukan dan senyuman bahagia yang kau berikan padaku dihari itu.

Kamu seperti senja, terasa menyenangkan namun tak bertahan lama. Selalu seperti ini, perlahan datang, lalu digantikan gelapnya malam yang penuh kehampaan. Kau adalah matahari tenggelamku, senjaku yang selalu kutunggu pemandangan terindahnya walau kutahu akan dilahap oleh gelapnya malam. Meskipun aku bukanlah senja yang kau tunggu, aku adalah langit yang selalu menemani hari-harimu. Atau mungkin, aku bagimu adalah senja, hanya sebatas ada dan menarik namun tak pernah bisa membuatmu melirik. Kini, aku sedang menikmati senjaku sebelum gelapnya malam menghampiri dan merenggut euforianya.

Perpaduan senja dan dirimu membuatku mengerti mengapa banyak sekali orang yang mencintai senja. Senja dan jingganya begitu menggambaran hati yang ditumbuhi asmara. Senja yang singkat dengan keindahan luar biasanya. Senja dengan sejuta cerita dibaliknya. Dirimu dan senja juga menyadarkanku mengapa orang membenci senja. Karena senja adalah sebuah janji perpisahaan dengan pesona indahnya yang sempurna namun rapuh. Senja mengantarkan pada keheningan malam nan gelap gulita. Senja mengingatkanku padamu, wujud dirimu yang lain yang bisa kunikmati saat jauh.

Jangan bertanya kepadaku kenapa sekarang aku sangat mencintai senja, Sebab hanya kamu yang tahu jawabannya. Bagiku matahari yang tenggelam di langit Nglanggeran tidak sekedar pemandangan indah dikala senja. Senja di langit Nganggeran yang menghangatkan hatiku saat angin berhembus menghempas ragaku dengan kencang. Matahari Terbenam di langit Nglanggeran merupakan bulir-bulir memori yang kemudian mengalir membentuk sebuah bendungan bernama kenangan.