Relasi Konservasi di Kampung Pitu
Saya sempat lupa mendapat kutipan ini dari siapa, jika tak salah ingat, kutipan ini saya baca dari Friedrich Engels: "Satu ons aksi lebih berarti dibanding satu ton teori."
Saya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Engels. Sejurus atas itu, kini, terlampau banyak orang-orang yang cerdas nan pintar, bejibun teori, tapi minim atas aksi yang dilakukan. Potret banyaknya akademisi yang muncul "idealnya" menjadi indeks banyaknya "aksi" yang muncul. Semacam solusi atas apa yang terjadi. Bisa kita lihat dari beragam kebijakan-kebijakan yang makin ke sini, lho, kok, makin ke sana, alias semrawut.
Sedikit menengok ulang cerita di kampung tempat saya tinggal. Ada beragam aktivitas di kampung yang menggambarkan kutipan Friedrich Engels di mula. Misal, ihwal adat istiadat di Kampung Pitu. Orkestra "aksi" berwujud adat istiadat.
Kampung Pitu terletak di sisi timur Puncak Gunung Api Purba, Dusun Nglanggeran Wetan, Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul. Saya tinggal satu dusun dengan kampung tersebut. Kebanyakan warga Desa Nglanggeran menyebut istilah Kampung Pitu dengan nama Kampung Tlaga. Disebut Tlaga karena bentuknya menyerupai Telaga yang identik dengan air.
Sepertihalnya pengetahuan-pengetahuan toponimi yang lesap dalam jibunan buku-buku, penamaan wilayah tak serta-merta alergi pada peristiwa, lingkungan, dan hal-hal yang lekat di sekitarnya. Desa Logandeng dengan toponimi Pohon Loa, Dusun Kepil dengan toponimi Pohon Kepil, Kampung Patehan dengan toponimi tempat ngetehnya para awak keraton. Ya, semua tidak tiba-tiba berbuah nama, semua memiliki akarnya.
Termasuk pula nama "Kampung Pitu" yang langgeng saat ini. Di desa kami, sebutan Kampung Pitu merujuk pada satu wilayah adat. Kampung Pitu: kampung yang dihinggapi tujuh kepala keluarga, tak kurang dan tak lebih. Per tulisan ini terbit (2024), Kampung Pitu benar-benar dihuni tujuh kepala keluarga saja. Informasi semacam itu terdengar magis, mitos, dan kurang ilmiah bagi beberapa orang.
Namun, realitanya memang sedemikian rupa. Ada cerita tutur yang melingkupinya. Kampung Pitu diikat oleh beberapa hukum adat yang diatur oleh seorang juru kunci. Norma-norma adat dan sosial masih kental di Kampung dengan ketinggian 700 mdpl itu.
Mayoritas pendidikan warga Kampung Pitu mengenyam SD, SMP, dan SMA. Sedikit yang bertahan hingga SMA. Pekerjaan mereka rata-rata petani, pekebun, dan buruh bangunan. Sempat saya menanyakan beberapa hal kepada salah seorang warganya: Aan.
Dalam lingkungan Kampung Pitu, Aan adalah putra menantu dari tetua adat di Kampung Pitu. Sebelumnya, Juru Kunci diemban oleh Rejo Dimulyo. Beberapa tahun lalu, Rejo Dimulyo meninggal dunia. Kini, sebagai orang tetua di Kampung Pitu, sementara tugas Juru Kunci diemban oleh mertua Aan.
Aan menjelaskan, kepercayaan tentang kepala keluarga yang jumlahnya tujuh sudah diwariskan secara lisan secara turun temurun. "Mengacu cerita dari bapak mertua saya, jumlah kepala keluarga yang ada di Kampung Pitu memang segitu jumlahnya," tutur Aan.
Penjelasan Aan memang tak spesifik. Saya sempat menanyakan tentang diksi âKepala Keluarga" muncul pasca Indonesia merdeka. Ia mengiyakan bahwa istilah "Kepala Keluarga" merupakan istilah modern. Tapi, tak cukup penjelasan tersebut, Aan menjelaskan tentang foklor Empu Pitu.
Foklor Empu Pitu berisi tentang cerita tujuh orang manusia yang isinya tokoh, empu, dan pujangga. Mereka bertujuh hinggap di Kampung Pitu atas hasrat sayembara yang dilakukan oleh Keraton. Aan tak menjelaskan lebih lanjut tentang Keraton yang dimaksud, bisa jadi Yogyakarta, bisa pula Keraton Solo. Ketujuh Empu ditugaskan untuk menjaga suatu pohon cum sebuah pusaka.
Ketika ditanya perihal tahun, Aan menjawab bahwa sayembara tersebut muncul pada 1800-awal 1900-an. Itu spekulasi berdasar tutur. Maklum, secara tradisi, di Indonesia lebih mengandalkan tutur dibanding tulisan. Jadi, tak ada babad tulis atau sumber fisik peristiwa tersebut. Pun juga ihwal tutur dan tulisan, keduanya tak saling sikut, tak lebih tinggi, dan tak lebih rendah. Sama pentingnya.
Ekologi Budaya di Kampung Pitu
Bukan maksud saya untuk mengistilah-barat-kan tradisi yang ada. Bagi saya, tradisi lahir lebih dahulu dibanding istilah-istilah modern di atas: ekologi budaya, misalnya. Saya sempat melakoni riset di Kampung Pitu. Beberapa bulan bolak-balik mengeja informasi. Atas dasar penasaran, saya mengulik cerita di Kampung Pitu. Melalui cerita tutur, kebanyakan masyarakat Kampung Pitu bercerita tentang adat, budaya, dan pohon keluarga. Kemudian, Saya ikat pohon silsilah warga Kampung Pitu melalui tulisan ala kadarnya.
Berdasar pohon keluarga itu, masyarakat Kampung Pitu, per 2024 ini telah memasuki turunan yang kelima-keenam. Saya sempat menghitung dan kalkulasi ihwal tahun babad di Kampung Pitu. Ya, kurang lebih kampung itu berdiri pada pertengahan tahun 1800-an hingga 1900-an awal. Nyaris sama dengan apa yang dituturkan oleh Aan.
Setidaknya, informasi sementara itu membuat diri saya nyicil lega, sekaligus menjawab sebuah pertanyaan: sejak kapan kepercayaan tujuh kepala keluarga itu muncul? Selanjutnya, pertanyaan itu kemudian berkembang menjadi beberapa pertanyaan lanjutan. Utamanya tentang mengapa dan bagaimana hal itu dapat terjadi.
Mengapa. Berdasar keterangan Aan, sikap masyarakat Kampung Pitu untuk tak menambah atau mengurangi Kepala Keluarga dikarenakan perhitungan ruang hidup. Sebab, jika semakin padat jumlah bangunan di kampung tersebut, maka ruang-ruang produksi akan bergeser menjadi rumah tinggal dan sejenisnya.
Luas kampung yang dikepung pegunungan Batara (Batur Agung Utara) itu hanya bekisar tujuh hektar. Mayoritas terdiri dari batuan-batuan yang besar sisa gunung purba, tak memungkinkan untuk ditanami. Kesadaran ruang menjadi penting. Dapat kita bayangkan bersama, jika tak ada foklor yang mengikat suatu wilayah, bisa jadi semua ruang produksi beralihwahana menjadi pemukiman.
Bagi saya, itu berelasi dengan kedaulatan pangan. Kita perlu memetakan apa-apa saja Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di wilayah sekitar. Misal: sumber air, sawah, pohon-pohon untuk pakan ternak, dan beberapa petak kebun.
Tujuh hektar dengan mayoritas batu kerad menjadi problem yang penting. Tak semua petak bisa ditanami dan dimanfaatkan oleh makhluk-makhluk yang mengitarinya. Semua memerlukan siasat dan adaptasi untuk tetap hidup. Sapiens sudah tak berpindah-pindah lagi. Ia mesti menyesuaikan pada lingkungan.
Leluhur paham atas hal itu. Asumsi saya, mereka mentransfer pengetahuan melalui laku dan ilmu. Kali in, laku yang saya maksud bukanlah hal-hal yang bersifat magis, melainkan ritual-ritual yang berisi "materi ajar" untuk merawat alam dan mempertahankan SDA yang ada. Secara sadar, makhluk ditopang oleh alam. Bukan sebaliknya. Toh dalam beberapa sumber juga menyebutkan bahwa terciptanya semesta melaju lebih dulu dibanding para makhluk-makhluknya.
Sedangkan berdasar ilmu, ritual-ritual "laku" yang ada dilengkapi dengan tutur-tutur, doa-doa, serta nyanyi-nyanyian. Itu ada di Kampung Pitu, terutama ketika bersih desa tiba. Saya mengibaratkan partikel-partikel itu sebagai serpihan-serpihan pengetahuan. Bila disatukan, akan mengacu pada satu induk yang bernama ilmu pengetahuan. Abstrak, ya.
Atau begini, dalam makna kiasan, saya membayangkan bata, pasir, air, semen, kayu, genting, marmer, dan keramik adalah pengetahuan. Bila partikel-partikel itu disatukan, jadilah suatu benda yang kerap kita sebut "rumah". Nah, semacam itu lahà barangkali yang saya bayangkan tentang "ilmu pengetahuan".
Sependek yang saya pahami, ilmu dan laku berjalan beriringan. Ketika bersih desa tiba, mayarakat Kampung Pitu mengadakan pesta rakyat. Salah satu yang saya soroti adalah ketika Tayuban dilakukan. Ada beberapa jenis lagu wajib (jawa) yang mesti dinyanyikan. Bila diterjemahkan, lirik lagu wajib itu berisi tentang pentingnya menjaga ekologi dan lingkungan.
Secara sadar atau tidak, masyarakat Kampung Pitu telah menjalankan suatu bentuk ekologi budaya. Bahkan, ekologi budaya itu telah tertancap lebih dulu dalam bentuk adat dan tradisi sebelum munculnya istilah "ekologi budaya" itu sendiri.
Teori ekologi budaya populer pada 1930-1940-an. Julian Steward yang berperan penting dalam perkembangan metode ekologi budaya. Bahkan, antropologi, etnonbiologi, ekologi politik, dan konsep ekosistem semuanya dipengaruhi oleh metode ini.
Ya, 1940-an metode itu populer. Sedangkan dalam konteks masyarakat adat (khususnya Kampung Pitu), mereka telah melakukan "ekologi budaya" jauh sebelum metode itu populer.
Di lain sisi, tafsir hidup atas teori jelas diperlukan. Tapi, melakoni hidup tanpa mengetahui teori juga bukan hal yang salah. Keduanya benar. Jika mengacu apa yang dikatakan Engels, tentu "aksi" menjadi prioritas.
Menukil Pramoedya Ananta Toer, sebenarnya anasir-anasir atas sesuatu adalah sederhana. Sedang yang memperumit keadaan cum suasananya adalah tafsirannya. Salah satu opsinya, jika kita bersama-sama hendak mempopulerkan apa yang disebut "ekologi budaya", setidaknya uji coba yang mesti dilakukan adalah merawat bentuk-bentuk, laku-laku yang sudah ada.
Barangkali tentang kata yang laku dipasaran: "berkelanjutan", saya pikir para pendahulu sudah melakukannya, jauh sebelum menjamurnya kampanye-kampanye berkelanjutan itu. "Berkelanjutan" di desa-desa lebih dahulu muncul dibanding berkelanjutan di kota-kota. Terlepas disadari atau tidak.
Tak hanya di Kampung Pitu saja, apa yang disebut "ekologi budaya" juga banyak terjadi di wilayah-wilayah yang lain. Pola pikir inferior dan superior atas istilah-istilah lokal-internasional saya pikir sudah tak diperlukan lagi. Tapi, sekali lagi, ini bukan tentang bancakan istilah. Ini tentang apa dan bagaimana "memperlakukan" sesuatu. Ya, kata dasarnya "laku". Begitu.
Oleh: Sintas Mahardika