Pengembangan Ekowisata, Pariwisata Berbasis Masyarakat

Pembangunan Kepariwisataan di Indonesia

 1.     Sistem Pariwisata Nasional

Industri pariwisata nasional merupakan suatu sistem yang terdiri dari permintaan, penawaran dan lingkungan.

 permintaan merupakan sesuatu yang diinginkan oleh wisatawan, sesuatu yang dicari wisatawan atau keinginan wisatawan. Permintaan ini dipengaruhi oleh faktor individual yaitu sosok wisatawan, baik yang menyangkut demografis wisatawan (umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, pendidikan, dan sebagainya), maupun  psiko-grafi, (seperti  sikap, gaya-hidup, motivasi berpergian dan minat wisatawan). Jenis permintaan, keinginan dan sesuatu yang dicari wisatawan ini akan berbeda-beda tergantung dari beberapa faktor diatas. Sebagai contohnya, wisatawan dengan usia muda 14-30 tahun, akan memiliki permintaan yang berbeda dengan wisatawan usia 55 tahun keatas. Wisatawan mancanegara dari Eropa, akan memiliki permintaan yang berbeda dengan wisatawan asal Jepang.

 

Pariwisata Foto By Google

Pariwisata Foto By Google

     penawaran. Terdiri dari sejumlah faktor, seperti atraksi, akomodasi, transportasi, SDM, kelembagaan, amenitas, dan sebagainya. Berbeda dengan permintaan, penawaran ini berada sepenuhnya dalam jangkauan perumus kebijakan (Misalnya: Departemen pariwisata, Dinas Pariwisata, Pengelola Desa Wisata). Bentuk kebijakan kepariwisataan ini akan ditentukan oleh visi pembangunan pariwisata yang diadopsi oleh suatu negara dan bangsa dengan memperhatikan dinamika sisi permintaan tadi. Misalnya, pengembangan pariwisata di Candi Borobudur, direncanakan dan dibiayai oleh Dinas Pariwisata bekerjasama dengan Departemen Pariwisata dan Masyarakat setempat. Pengembangan berupa: Pusat informasi, parkir, Toilet, Gedung Pertemuan, mushola, homestay, papan penunjuk arah, dan sebagainya. Produk yang telah siap inilah yang ditawarkan kepada calon wisatawan.

             Lingkungan Kepariwisataan. Mencakup situasi politik, ekonomi, keamanan  dan sebagainya di negara tujuan wisata yangdapat mempengaruhi sifat interaksi antara permintaan dan penawaran. Pembangunan pariwisata pada hakekatnya merupakan upaya untuk membawa kepariwisataan menuju sistem kepariwisataan yang  dipandang lebih bermanfaat atau lebih baik, melalui proses perencanaan, dengan memperhatikan perubahan yang terjadi. Proses perencanaan tadi dilakukan  dengan merubah faktor permintaan dan penawaran tadi sesuai dengan visi yang menjadi referensi pembangunan suatu negara.

 2.     Hal-Hal Penting Dalam Pembangunan Kepariwisataan

 Di dalam proses pembangunan nasional pada umumnya, serta pembangunan kepariwisataan pada khususnya, hal-hal penting pembangunan selalu akan muncul, baik pada tataran paradigmatik, kebijakan, strategi, maupun program. Hal ini disebabkan karena di dalam proses pembangunan, para perumus kebijakan dan pengambil keputusan akan selalu dihadapkan pada berbagai pilihan. Apa yang dipandang sebagai “lebih baik” atau “lebih bermanfaat” bersifat relatif, dan seringkali bersifat subjektif.

 2.       Orientasi Pembangunan Kepariwisataan: Pertumbuhan versus Pemerataan

Di satu sisi sektor pariwisata dipandang sebagai sektor andalan yang akan menjadi penghasil devisa utama, di sisi lain sektor ini juga diharapkan untuk dapat berfungsi sebagai wacana pemerataan melalui perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Kedua misi tadi

akan menentukan sosok wisatawan yang akan menjadi prioritas utama, dan implikasinya pada strategi promosi, pengembangan produk dan attraksi, pembangunan akomodasi dan prasarana, kebijakan pemanfaatan sumber, impor dan sebagainya.

 Kebijakan pembangunan pariwisata yang berorientasi pada peningkatan perolehan devisa cenderung menempatkan wisatawan nusantara pada posisi sekunder serta memberi prioritas yang tinggi pada wisata-mancanegara yang bersifat wisata massal. Sifat-sifatnya seperti

program perjalananannya distandardisasikan, dikemas secara tegas, dan tidak lentur; program perjalanannya disusun berdasarkan peniruan massal dari unit-unit yang sama yang mengandalkan skala ekonomi sebagai pendorong utamanya; program perjalanannya dipasarkan secara massal pada seluruh lapisan masyarakat; program perjalannya dikonsumsi secara massal dan kurang memperhatikan norma, budaya, masyarakat dan lingkungan setempat di daerah tujuan wisata.

 memang hal ini mempunyai potensi yang lebih besar untuk menghasilkan devisa. Namun karena wisata massal ini cenderung memanfaatkan teknologi canggih yang padat modal serta menggantungkan berbagai inputnya pada komoditi yang diimpor, maka peluang kerja yang ditimbulkan cenderung terbatas, karena sosok pariwisata yang demikian terutama menyerap tenaga kerja professional yang berpendidikan dan berketrampilan tinggi. Obsesi untuk meningkatkan perolehan devisa dan manfaat ekonomi menyebabkan wisata massal tadi berwawasan jangka pendek, karena  mekanisme pembentukan harga di pasar dan proses ekonomi  cenderung kurang memperhatikan pengorbanan sosial yang ditimbulkan pariwisata, seperti sempitnya akses pada peluang kerja.

 Apabila industri kepariwisataan ingin berhasil dalam mengemban misinya sebagai wacana pemerataan pendapatan melalui perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, maka pembangunan kepariwisataan harus memberi perhatian pada pariwisata alternatif.  Secara umum pariwisata alternatif ini dapat didefinisikan sebagai:

 “Berbagai bentuk pariwisata yang sesuai dengan nilai-nilai alami, sosial dan komunitas dan yang memungkinkan baik wisatawan maupun masyarakat setempat menikmati interaksi yang positif dan bermanfaat dan bertukar pengalaman.”

 Karena sifatnya yang demikian, maka berbagai variant dari pariwisata alternatif ini seperti pariwisata minat khusus dan pariwisata yang berbasis komunitas dan sebagainya, lebih memberi kemungkinan bagi perwujudan misi pariwisata sebagai wacana pemerataan pendapatan dan perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Sifat-sifat spesifik yang menjadi esensi pariwisata yang berbasis komunitas, seperti:

berskala kecil sehingga bersahabat dengan lingkungan, secara ekologis aman, dan tidak menimbulkan banyak dampak negatif seperti yang dihasilkan oleh jenis pariwisata konvensional yang berskala massif; memiliki peluang lebih mampu mengembangkan obyek-obyek dan atraksi-atraksi wisata berskala kecil dan oleh karena itu dapat dikelola oleh komunitas-komunitas dan pengusaha-pengusaha lokal serta menimbulkan dampak sosial-kultural yang minimal, dan dengan demikian mempunyai peluang yang lebih besar untuk diterima masyarakat; memberi peluang yang lebih besar bagi partisipasi komunitas lokal untuk melibatkan diri di dalam proses pengambilan keputusan dan di dalam menikmatikeuntungan yang dihasilkan oleh industri pariwisata dan karenanya lebih memberdayakan masyarakat; dan mendorong keberlanjutan budaya dan membangkitkan penghormatan para wisatawan pada kebudayaan lokal.

 Secara formal pengembangan pariwisata yang berbasis komunitas ini merupakan kebijakan resmi pemerintah sebagaimana tersirat dalam prinsip kepariwisataan Indonesia yang dirumuskan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang mencakup prinsip:

Masyarakat sebagai kekuatan dasar; Pariwisata: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat; serta Pariwisata adalah kegiatan seluruh lapisan masyarakat, sedang pemerintah hanya merupakan fasilitator dari kegiatan pariwisata.

 Sedangkan realisasi dari prinsip ini tertuang di dalam 7 Program Pokok dalam Kaitannya dengan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Sektor Pariwisata yang terdiri dari:

(i)                Pengembangan Ekowisata;

(ii)              Desa Wisata;

(iii)            Pariwisata Inti Rakyat;

(iv)            Kemitraan;

(v)              Pengembangan usaha rakyat kecil & rumah makan;

(vi)            Pemberdayaan masyarakat sekitar obyek wisata; dan

(vii)          Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata.

 Di dalam perspektif jangka pendek, pilihan itu menuntut kesediaan pemerintah yang sulit dilakukan untuk mengkompromikan menurunnya penurunan devisa dari sektor pariwisata untuk memperoleh efek distributif yang lebih besar, namun di dalam jangka panjang perubahan  segmentasi psikografi akan mengarahkan pembangunan pariwisata kearah perwujudan pariwisata alternatif tadi.

 2.2.          Pemanfaatan versus Konservasi dan Pelestarian

 Misi untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai sumber devisa utama sebagai penopang pertumbuhan ekonomi seringkali membawa pemikiran perumus kebijakan pada aspek-aspek kwantitatif pariwisata. Pembangunan pariwisata diartikan sebagai bagaimana memfasilitasi kedatangan wisatawan sebanyak mungkin, dengan lama tinggal selama mungkin dan membelanjakan uangnya sebanyak mungkin. Proyeksi-proyeksi dilakukan untuk mengestimasi efek pengganda pariwisata. Obsesi untuk memfasilitasi datangnya wisatawan ini seringkali melupakan pertimbangan daya-dukung daerah tujuan wisata, yaitu jumlah maksimum wisata yang dapat memanfaatkan kawasan wisata tanpa merubah lingkungan fisik dalam intensitas yang tidak dapat diterima dan tanpa menurunkan kualitas pengalaman wisata dalam intensitas yang tidak dapat diterima, serta tanpa menimbulkan efek negatif pada masyarakat, ekonomi dan budaya di sekitar kawasan wisata di dalam intensitas yang tidak dapat diterima.

 Di sini timbul dilema antara pemanfaatan dan pelestarian obyek dan daya tarik wisata (warisan alam, cagar budaya, dan sebagainya). Pada hakekatnya warisan alam dan cagar budaya hanya dapat mempunyai makna apabila dimanfaatkan melalui interpretasi-interpretasi, dan interpretasi ini dilakukan melalui pengalaman wisatawan yang seringkali dibantu oleh para pemandu wisata.  Akan tetapi di sisi lain pemanfaatan yang melampaui daya-dukung  cenderung berdampak negatif dan karenanya perlu upaya konservasi dan pelestarian. Untuk mengatasi hal ini timbullah konsep pariwisata berkelanjutan.

 Konsep pariwisata yang berkelanjutan ini sebenarnya merupakan derivasi dari konsep sustainable development atau pembangunan yang berkelanjutan yang oleh United Nations Environmental Programme (UNEP) didefinisikan sebagai:

 “. . . pembangunan yang memperbaiki kualitas hidup manusia dalam kisi-kisi daya dukung yang mendukungnya.”

 Dari apa yang dirumuskan oleh UNEP tersebut di atas, World Tourism Organization (WTO) kemudian merumuskan konsep pariwisata yang berkelanjutan tadi sebagai berikut

 “. . . pariwisata yang memuaskan kebutuhan wisatawan dan kawasan wisata pasa saat ini seraya melindungi dan meningkatkan peluang di masa datang. Hal ini diartikan sebagai sesuatu yang mengarah pada manajemen berbagai sumber sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial, estetika dapat terpenuhi seraya mempertahankan integritas kultural, proses ekologi yang esensial, keanekaragaman hayati dan sistem penopang hidup.”

 Pemerintah Indonesia sebenarnya telah meletakkan rambu-rambu menuju terciptanya pariwisata yang berkelanjutan ini, antara lain sebagaimana dirumuskan dalam berbagai perundang-undangan seperti  UU no. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya: dan UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Adalah menjadi tanggung-jawab mereka yang bergerak di dalam bidang industri wisata yang harus dapat merekonsiliasikan antara pemanfaatan dan penafsiran di satu pihak, dan pelestarian dan konservasi di lain pihak. Namun, lebih dari itu, untuk mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan tadi diperlukan visi yang luas yang mencakup kerangka waktu dan kerangka ruang yang lebih luas dari apa yang biasanya berlaku di dalam perencanaan pembangunan pariwisata yang konvensional. Tidaklah cukup untuk sekedar menerapkan prinsip-prinsip perencanaan pembangunan pariwisata yang konvensional seperti pengaturan tata-ruang, pengelompokan, pengintegrasian antara atraksi dan fasilitas, interdependensi antara atraksi dan fasilitas, interdependensi antara atraksi alam dan atraksi budaya, berbagai cara untuk memperluas akses, elastisitas, diversitas dan komplementaritas, analisis biaya dan manfaat, serta analisis daya dukung, dan lain sebagainya.

Di samping itu, beberapa acuan perlu diikuti, seperti:  (i) Adanya kebijakan kepariwisataan umum yang mencantumkan tujuan pariwisata yang berkelanjutan pada tingkat nasional, regional, maupun lokal; (ii) Parameter-parameter yang digunakan untuk merencanakan, mengembangkan, dan melaksanakan industri pariwisata haruslah terintegrasi dan bersifat lintas sektoral yang mengikutsertakan berbagai departemen, pemerintah dan swasta, para pakar, masyarakat sehingga menjamin kesuksesan; (iii) Di dalam merencanakan proyek-proyek pembangunan kepariwisatan perlu penekanan pada perlindungan aset alam dan budaya dengan mempertimbangkan pemanfaatan sosio-ekonomis yang layak dari lingkungan fisik-alami dan lingkungan buatan serta dampak kegiatan manusia atas dampak tadi; (iv) Perlu ada upaya-upaya agar para wisatawan serta mereka yang terkait dengan industri pariwisata mengikuti etika dan aturan-aturan yang mengatur perilaku yang sehat dan konservatif yang menyangkut alam, budaya, ekonomi, sistim nilai masyarakat, sistem politik, pengelompokan sosial dan kepemimpinan; (v) Distribusi proyek pembangunan pariwisata haruslah mengacu pada nilai-nilai keadilan, yang mendistribusikan secara adil manfaatpariwisata di antara berbagai kelompok dan regional; (vi) Kesadaran masyarakat akan manfaat pariwisata serta bagaimana memitigasikan dampak negatif pariwisata haruslah selalu ditingkatkan; dan (vii) Masyarakat setempat perlu didorong untuk memainkan peranan kepemimpinan dalam pembangunan pariwisata dengan bantuan pemerintah, swasta, lembaga-lembaga keuangan serta universitas.

 2.3.          Peranan Negara dan Peranan Swasta dalam Industri Pariwisata.

 Hal penting lain yang mewarnai pembangunan pariwisata adalah pilihan antara industri pariwisata yang didorong oleh kekuatan-kekuatan pasar dan pembangunan pariwisata yang dipimpin oleh negara. Pilihan di antara kedua kutub tadi akan dipengaruhi oleh paradigma pembangunan yang diadopsi oleh suatu negara, akan tetapi juga tidak lepas dari pengaruh konfigurasi yang melingkupinya, khususnya kecenderungan globalisasi dan liberalisasi yang agaknya menjadi alur pikir yang dominan pada saat ini. Namun agaknya pilihan di antara kedua kutub alternatif peranan negara dan swasta ini tidaklah bersifat statis.

 Meskipun kecenderungan di banyak negara pada umumnya adalah mengacu pada pemikiran konvensional yang menyerahkan pembangunan pariwisata pada mekanisme pasar dan dengan demikian memberi peranan yang lebih besar pada sektor swasta, namun bergeraknya pendulum ke kutub pemberian peranan yang lebih besar pada negara juga dapat dicermati. Dalam hubungan ini Butler menegaskan bahwa “sifat pariwisata dalam batas-batas tertentu menentukan sifat dan pola pertumbuhan suatu negara dan, apabila tidak dikendalikan dan dikuasai, industri pariwisata akan dapat menimbulkan berbagai permasalahan.” Interaksi yang tidak terkendali di dalam mekanisme pasar pada akhirnya akan dapat melampaui batas daya dukung kawasan wisata, dan karenanya akan mengganggu keberlanjutan wisata. Oleh karenanya, banyak pakar yang menganjurkan perlunya kesadaran para pengambil keputusan akan ketidak-sempurnaan pasar dan melalui kebijakan pemerintah ketidak-sempurnaan pasar tadi akan dapat dikoreksi sehingga kecenderungan terjadinya ketidakseimbangan dan timbulnya posisi monopolistik swasta maupun pemerintah dapat dicegah.

 Di samping itu mempercayakan  sepenuhnya industri pariwisata pada interaksi antara pelaku ekonomi di dalam mekanisme pasar mungkin dapat meningkatkan efisiensi, akan tetapi efisiensi di dalam konotasi Pareto optimum dan di samping itu dapat pula memperlebar kesenjangan. Oleh karena itu perlu diciptakan keseimbangan antara kedua sistem tadi. Oleh karena itu di dalam batas-batas tertentu perlu upaya yang oleh Robert Wade diistilahkan sebagai “mengendalikan pasar”.

 Bentuk kebijakan pemerintah dalam industri pariwisata tadi dapat bermacam-macam, mulai dari menetapkan syarat-syarat dan mengarahkan investasi, mengatur akses terhadap tanah, misalnya hanya memperbolehkan sewa-tanah untuk jangka panjang, membangun infrastruktur, mempengaruhi nilai-tukar, dan sebagainya. Keikutsertaan pemerintah dalam orientasi, pengaturan, dan pengawasan industri pariwisata mungkin masih diperlukan di dalam konteks ketidaksempurnan pasar, upaya untuk mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan, maupun pemeratan pendapatan.

 2.4.          Wisman dan Wisnus: Persaingan atau Komplementaritas

Di dalam berbagai ketentuan formal maupun di dalam berbagai fora  pemerintah selalu menegaskan bahwa industri pariwisata diharapkan akan menjadi sumber devisa utama. Implikasi dari kebijakan ini adalah bahwa segmen pasar utama yang menjadi fokus perhatian pemerintah adalah Wisatawan Mancanegara. Kebijakan ini menimbulkan dilemma bagaimana posisi Wisatawan Nusantara vis-àvis Wisatawan Mancanegara. Persoalan ini timbul karena menurut hasil penelitian Myra P. Gunawan Wisatawan Nusantara mempunyai potensi yang cukup besar untuk memberikan kontribusinya pada pembangunan nasional.

 Memang Efek pengganda pengeluaran Wisatawan Mancanegara lebih besar dibandingkan dengan Wisatawan Nusantara, yaitu 2,99 berbanding 1, karena mata rantai transaksi untuk memenuhi kebutuhan Wisatawan Mancanegara lebih panjang dibandingkan Wisatawan Nusantara. Akan tetapi karena jumlah Wisatawan Nusantara jauh lebih banyak, maka kontribusinya terhadap penciptaan peluang kerja tidak dapat diabaikan.  Memang pengeluaran Wisatawan Nusantara ini mungkin lebih sederhana jika dibandingkan dengan pengeluaran Wisatawan Mancanegara, akan tetapi pengeluaran tadi lebih langsung diterima oleh masyarakat penghasil barang konsumsi dan melalui mata rantai yang lebih pendek.

 Memang di antara kedua pilihan tadi ada plus dan minusnya. Komoditi yang dikonsumsi Wisatawan Mancanegara merupakan komditi berteknologi tinggi dan menyentuh kepentingan kelompok atas serta mempunyai kaitan yang panjang, sedangkan komoditi yang dikonsumsi Wisatawan Nusantara merupakan komoditi yang sederhana, akan tetapi lebih terkait dengan pendapatan masyarakat kecil. Karena bulan-bulan puncak kunjungan Wisatawan Mancanegara dan Wisatawan Nusantara tumpang-tindih atau berkoinsidensi, yaitu pada bulan Juni-Juli dan Desember, dan karena distribusi spatial Wisatawan Mancanegara dan Wisatawan Nusantara sama, maka akan terjadi kompetisi pemanfaatan kapasitas fasilitas maupun sarana dan prasarana wisata. Hal ini merupakan isu yang harus dipecahkan oleh perumus kebijakan.

 Sebagai sebuah Kawasan Ekowisata yang baru di Kembangkan di Yogyakarta kami pengelola Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran berharap kepada semua pihak yang memiliki kepedulian dalam perkembangan pariwisata di kawasan kami untuk bisa melakukan kerjasama. Semoga rintisan pengembangan pariwisata di Desa Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul memberikan dampak positif di masyarakat. Tetap Semangat dan Terus Berkarya…!!! (Sugeng Handoko)

 Sumber : Pelatihan Fasilitator PNPM Pariwisata 2011, Manajemen Konsultan Stupa dan Penulis